Tentang Penulisan Puisi (1): Nyanyian Miris Doel CP

April 27, 2007

NYANYIAN MIRIS: NYANYIAN KECEMASAN DOEL CP ALLISAH 

 

Pengantar 

           
Para ahli sastra bersepakat bahwa karya sastra, apapun bentuknya, diciptakan oleh penulisnya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, harapan, pengalaman hidup, hasil pengamatan, harapan, bahkan hasil pengembaraan batinnya kepada pembaca. Untuk itu, setiap karya yang dihasilkan diharapkan (oleh penulisnya) untuk  dapat dipahami oleh pembaca sehingga pembaca sewmakin bertambah pengetahuannya, wawasannya, pengalamannya, dan pada akhirnya semakin peka batinnya dalam mengartikan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, karya sastra mau tak mau harus dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi, salah satu unsur semiotika, dalam kehidupan manusia berbudaya dengan segala konvensi dan keunikannya.            Puisi sebagai salah satu genre sastra idealnya juga harus diperlakukan sebagai salah satu sarana semiotika oleh penulis (dan pembacanya). Karena itu, sejak awal penulis harus menyadari betul bahwa karya yang akan diciptakan itu dalam bentuk lisan atau tulisan harus dapat berbicara dengan pembacanya sehingga ciptaan tersebut tidak sia-sia dan menjadi bahan pajangan di rak/lemari penulisnya. Memang tiap penulis punya
gaya selingkung (style) sendiri dalam menata pikiran, harapan, dan pengalamannya melalui puisi sehingga selingkung tersebut menjadi ciri khas dan hak paten penulis tersebut sepanjang waktu. Chairil Anwar, Rendra, Sutardji, Maskirbi, M Nur Gani Asyik, Din Saja, dan penyair-penyair lain punya karakter dan keunikan tersendiri sehingga pembaca (yang akrab dengan karya karya mereka) akan tahu langsung puisi siapa yang dibaca/didengarnya, meski nama penulis tidak disebut dalam karya tersebut. Keunikan ini antara lain terlihat dalam kecenderungan memilih bentuk ungkap (lirik, epik, naratif, dsb), diksi (pilihan kata), sistem pemetaan di atas kertas (tipografi), pemilihan tema, dan lain-lain.
            Namun, terlepas dari berbagai kepersonalan ragam dan pola ungkap seorang penyair, sebuah puisi khususnya puisi lirik memiliki tiga konvensi dasar (meminjam istilah Culler), yaitu theme dan Epiphany (tema dan perwujudannnya), distance & deixis (jarak dan deiksis), dan organic whole (keseluruhan yang organic). Tema dan perwujudannya dimaknakan sebagai sebuah kesadaran penulis dan pembaca bahwa puisi lirik yang pada hakikatnya personal dan cenderung insidental harus diberi makna universal dan manusiawi. Kecenderungan penyair mempermasalahkan dirinya sendiri sebagai manusia modern yang problematik, terasing, dan kehilangan pegangan harus diberi makna umum, universal dan mungkin juga dialami oleh pembaca atau orang lain di bumi Allah ini. Jarak dan deiksis harus dipahami sebagai adanya konvensi pada penulis lirik untuk menggunakan kata ganti orang dan keterangan lain aku, kau, di sini, kemarin, dsb, yang harus dibaca dan dipahami sesuai dengan konteks referensi yang lain, konteks dan referensi yang dibangun oleh pembaca, karena itu, aku dalam puisi lirik belum tentu aku penyair. Aku itu bisa berarti siapa saja, termasuk pembacanya. Selanjutnya, konsep keseluruhan yang organic dimaknakan sebagai ide penyair dalam puisi lirik idealnya ditulis/diungkapkan dalam satu kesatuan yang utuh, saling sambung (koheren), tidak meloncat-loncat, sehingga pembaca benar-benar larut dalam menyelami pemikiran dan pengalaman personal penyair sejak ia memulai hingga akhir pembacaan karya tersebut. Ketiga konvensi ini idealnya dimiliki dan benar-benar harus di perhitungkan oleh penulis (dan pembaca), sehingga apa yang terpikir oleh penulis saat menulis benar-benar dapat dipahami oleh pembava saat membaca sesuai dengan berbagai kondisi yang melingkupinya pada saat menulis ataupun membaca karya tersebut. 

Nyanyian Miris: Sebuah Tanggapan Pembaca Awam. 

           
Ada sebuah kemirisan (meminjam istilah Doel) saat penulis diminta membuat sebuah ulasan kritis terhadap puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Miris-nya Doel CP Alisah. Kemirisan itu didasari pada keterbatasan pengetahuan,pengalaman dan keakraban penulis dengan karya-karya Doel. Di samping itu, penulis pun khawatir kalau nantinya ulasan kritis ini dinilai terlalu akademis dan cenderung seperti kuliah mimbar. Pada kesempatan ini, secara kebetulan, penulis diminta menganalisis puisi-puisi dalam kumpulan ini dari sudut pendekatan semiotika, sedangkan dua rekan lain, M Nurgani Asyik dan Din Saja, diminta mengulas masalah proses kreatif dan landasan filosofinya. Beranjak dari berbagai keterbatasan dan kenisbian selaku pemula, penulis mencoba mengulas apa yang terpikir dan terpahami dari pmbacaa yang panjang terhadap puisi-puisi Doel.
            Kemungkinan munculnya tafsiran yang agak berbeda dengan para hadirin yang terhormat, yang sebagian besar sangat berpengalaman dalam hal membuat puisi (beserta kritiknya), adalah hal yang sangat wajar. Toh dari dulu pun puisi (Khususnya puisi lirik, seperti puisi-puisi Doel dalam kumpulan ini) ditafsirkan beda oleh pembaca, sesuai dengan latar social budaya, tingkat pendidikan, tingkat keakraban dengan karya, pemahaman konvensi bahasa/sastra, nilai-nilai yang dianut, rentang waktu pembacaan, dan berbagai hal lain yang berpengaruh dalam interpretasi karya tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya kekaburan dan kambiguan (ketaksamaknaan) simbol-simbol dan kata tertentu dalam puisi yang dianalisis sehingga kemungkinan munculnya hal itu terasa wajar dan manusia sekali.            Membaca yang tersurat pada judul kumpulan dan puisi-puisi yang terkumpul di dalamnya (selama rentang waktu  1985-1995) penulis melihat adanya kemirisan, kecemasan, kewas-wasan, dan kerisauan aku lirik dalam kumpulan ini terhadap berbagai problema kehidupan sehari-hari. Hal ini diwujudkan dalam berbagai subtema, yaitu:(1)     kesepian dan kerinduan kepada adik/keluarga (dalam “Nyanyian Malam Lebaran”,1985),(2)     keprihatinan terhadap kehidupan diri sendiri dan kolega (dalam “Biarkan Jalanan Jadi Rumah”,1986,(3)     kekhawatiran terhadap punahnya warisan budaya dan generasi (dalan “Teunom” 1987; “Landskap Sabang”,1986;  “Tangse” 1991; “

Miwah
River” , 1995; “Banda Aceh Pagi Ini”,1995),(4)     kepasrahan hidup (dalam sajak “Buat Bapak”,1985)(5)     kerinduan,kegetiran dan kepasrahan cinta kekasih/istri (dalam “Nyanyian Lelaki Muda”,1979; “Landskap Lagu Sedih Wanitaku” , 1986; “Pulang”,1990; “Ciputat”, 1992; “Di Rotterdam Ketika Mimpi”; “Nyanyian Miris”,1994; “Trauma”,1994; dan “Sajak Perpisahan”,1995)(6)     Penyerahan diri pada Tuhan (dalam “Transe”, 1993; “Engkau IV”, 1994), dan(7)      Kerisauan terhadap diri sendiri (dalam “Dalam Ruang Tak Terbatas”, 1986; “Lagu Birahi”, 1993; dan “Kepada Doel”, 1995). 

            Dari segi  pola penyampaian/pengungkapan tema, Doel terlihat berhasil dalam beberapa puisi yang dipilih dalam kumpulan ini. Keberhasilan itu secara khusus terlihat dalam puisi-puisi yang cenderung naratif dan prismatis, seperti “Nyanyian Lelaki Muda” (1979) “Nyanyian Malam Lebaran” (1985) “Sajak Buat Bapak” (1985), “Dalam Ruang Tak Terbatas” (1986), “Landskap Sabang” (1986), “Teunom” (1987), “Pulang” (1990), “Di Rotterdam Ketika Mimpi” (1993), “Miwah River” (1995), “Banda Aceh Pagi Ini” (1995), dan “Kepada Doel” (1995).            Dalam puisi-puisi di atas penyair berusaha memilih diksi yang lugas dan pelambang yang cenderung konkret sehingga timbul imaji-imaji (citraan) pada pembaca baik imaji visual, audio, ataupun imaji taktil. Penumbuhan imaji tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada tumbuhnya kemampuan pembaca dalam memahami dan menyalami pemikiran/pengalaman penyair dalam puisi tersebut. Dalam “Nyanyian Malam Lebaran”, misalnya, aku lirik bercerita tentang kesepian dan kerinduannya pada kemeriahan dan kesyahduan bermalam lebaran dengan keluarga setelah berpuasa selama sebulan.Ada kegetiran memang, saat gemuruh takbir bergema, keinginan untuk bersama,keinginan untuk larut dalam tradisi,keinginan untuk kembali ke masa lalu di kampong, kian mengental sehingga membuat aku merasa sepi di tengah-tengah keramaian kota besar, kesepian dan keperihan itu semakin menjadi-jadi saat barisan takbir menghilang dan aku berjalan sendiri sambil menyusut air mata yang tak lagi bisa di bendung.            Sepintas puisi ini terasa cengeng dan mengada-ada. Tapi bila kita kaji lebih dalam, keterkaitan kita dengan tradisi yang menahun mau tak mau menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan hidup kita dari waktu kewaktu, apalagi saat kita berada jauh dari alam yang melahirkan tradisi itu. Pemakaian diksi yang cenderung denotatif dan pelambang yang konkret membuat puisi ini mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Pembaca seakan barisan orang-orang yang bertakbir, mendengar gemuruh takbiran bersahut-sahutan,merasakan kesedihan aku lirik, melihat aku lirik larut dalam keramaian, melihat “dekki” kecil bermain lilin di teras rumah, dan membayangkan aku lirik berjalan sendiri sambil terpekur dan menghapus air mata kesedihannya. Hal ini diperkuat lagi dengan usaha penyair untuk merangkai penggalan-penggalan peristiwa dalam puisi ini secara kompak dan mengalir ke satu klimaks. Pembaca secara tidak sadar digiring untuyk mengikuti perkembangan emosi aku lirik hingga sampai ke satu titik jenuh, kesendirian dan kepasrahan penyair dalam menerima kenyataan di negeri orang.            Hal sama juga di jumpai dalam puisi-puisi lain dalam kelompok ini. Pemakaian kata dan frase rakit, airmatamu, angin, melepaskan gaun, seekor laba-laba, lampu, bayangan, senja hari, laut, cahaya merah, langit, terpekur, gadis-gadis menenteng dagangan, dan sebagainya mampu menimbulkan berbagai imaji pada pembaca. Beberapa puisi dalam kelompok ini memang terasa simbolik dan penuh teka-teki. “Sajak  Buat Bapak”, “Teunom”, “Nyanyian Lelaki Muda”, “Dalam Ruang Tak Terbatas”, “Miwah River” termasuk dalam kelompok puisi naratif simbolik ini. Dalam membaca puisi-puisi seperti ini pembaca harus berusaha menerjemahkan simbol-simbol itu terlebih dahulu sesuai dengan konvensi yang lazim dalam masyarakatnya.            Sebaliknya, dalam puisi-puisi yang lain, pemilihan dan pengungkapan tema yang dilakukan oleh Doel terlihat sangat gelap dan melompat-lompat. Puisi-puisi yang termasuk kedalam kelompok ini adalah “Biarkan Jalanan Jadi Rumah” (1986), “Landskap Lagu Sedih Wanitaku” (1986), ”Tangse” (1991), “Ciputat” (1992), “Transe” (1993), “Lagu Birahi” (1993), “Nyanyian Miris” (1994), “Trauma” (1994), “Engkau-IV” (1994), dan “Sajak Perpisahan” (1995). Keambiguan dan kegelapan itu terjadi karena pemakaian deiksis (khususnya kau, maunya, kita) dalam puisi-puisi genre ini terlihat tidak ajeg dan tidak sesuai dengan konvensi bahasa (bahasa Indonesia) yang selama ini dipahami pembaca. Pengabaian kaidah kapitalisasi dalam penulisan deiksis menyebabkan kata tersebut dapat ditafsirkan macam-macam; kekasih, istri, orang tua, daerah, orang asing, dan Tuhan. Hal itu misalnya, terlihat dalam Engkau IV. Lihatlah bagaimana pembaca akan memaknakan lirik tertentu dalam puisi ini, seperti../apakah yang bisa membatasi cintaku padamu/rumah kecil dan seluruh kepahitan/atau kesadaran yang terlambat/…atau,./…/nikmat terdekap di ujung waktu yang kau takdirkan/tak jua, tiada yang dapat menunda pertemuan ini/engkau dalam dekapku/danaku kerdil dalam kesempurnaanmu/….atau,/ apakah yang bisa membatasi cintaku kepadamu/engkau dengan kepastian selalu/…atau,/apakah yang bisa membatasi cintaku padamu/ tak satupun ya Allah/ kecuali lalai dan mengingkari kebenaranMu/.            Di samping itu, Doel pun cenderung bermain-main dengan kata sehingga apa yang ingin disampaikan menjadi kabur sekali dan majemuk. Keinginan ini menyebabkan puisi-puisi tersebut sarat ide dan terasa melompat-lompat dari satu  ide ke ide yang lain. Pengulangan Larik /biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai temannya/dikejauhan/ketika subuh basah berembun/ dalam BJJR, misalnya, terasa mengganggu kelancaran pemahaman tiga larik berikut yang menjadi inti bait ini. Demikian juga penyelipan larik /bercerita pada dahan-dahan, pada gerimis/mengikuti usungan jenazah dan lorong-lorong/yang tertinggal dalam kegembiraan bocah-bocah/ (Landskap); atau/ bulan yang turun di ilalang Jantho/dalam basah embun bau jerami/sedang nafasmu tetap teratur/bagai akur gelap sunyi rimba Geumpang/…(Tangse) terasasangat mengganggu kepaduan (koherensi) antar larik dan pemahaman makna totalitas dalam puisi-puisi tersebut. Dalam “Ciputat”, malah, koherensi antara judul dengan larik dan larik dengan larik boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Kalau ada pembaca yang menganggap puisi ini termasuk yang mahajelek dalam kumpulan ini bila ditinjau dari sudut itu, maka anggapan itu tampaknya sah-sah saja dan cukup beralasan.            Hal lain yang juga terasa mengganggu kelangsungan pemahaman puisi dalam kumpulan ini adalah ketidakajegan peletakan/penulisan kata depan di/ke dan tanda tanya. Dalam bahasa Indonesia, kata depan di dan ke secara konvensional ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya (lazimnya kata benda dan keterangan tempat). Dalam kumpulan puisi ini kata depan ini kadang ditulis bersambung dan kadang-kadang dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Hal ini, misalnya terlihat dalam penulisan kata dirumah, diteras, dipundak, ditangan (“Nyanyian Malam Lebaran”); diselangkangan, dimana, dipulo geupeuweh, dipelabuhan (“Landskap Sabang”); diselat, kebelakang, kerumah, dimana (“Pulang”). Ketidakajegan pemakaian kata tersebut tampaknya terjadi dalam semua puisi yang terkumpul dalam kumpulan ini. Ketidakajegan penempatan tanda tanya antara lain terlihat dalam “Landskap Sabang”, khususnya dalam larik /ah, betapa gairah aku kenang/ gadis-gadis menenteng dagangan/dari duui, kemana bersembunyi?/blue jeans dan entah apa lagi /pasaran luar negri/…/ dimana bersembunyi kesibukan panjang/gerombolan orang-orang datang?/ (dipulo geupeuweh)/. Tanda Tanya dalam larik ini (kalau mau dipakai) sebaiknya diletakkan di akhir larik. Atau, biarkan larik tanyaan itu terbuka, seperti dalam “Sajak Perpisahan” ,…/ tahukah kau, keramaian dan orang-orang yang bergegas/ menarikmu kedalam riuh pungkur/.            Satu hal lagi yang tampaknya sangat personal dalam kumpulan puisi ini adalah kecenderungan penyair menggunakan kata yang sudah kurang umum terpakai dalam bahasa Indonesia dewasa ini. Kata-kata tersebut umumnya berupa kata pungutan dari bahasa Jawa, seperti miris (cemas, was-was, risau), kelindapan (keredupan/kesamaran), laguna (danau), pungkur (punggung, belakang, buritan). Dua kata, gebalau dan mendiri malah tak dijumpai dalam kamus umum bahasa Indonesia edisi terbaru. Pemakaian kata-kata seperti ini pada satu sisi dinilai positif dalam rangka pemerkayaan bahasa dan penonjolan identitas diri penyair. Namun hal inipun bisa jadi menyulitkan pembaca dalam memahami secara langsunga konsep yang ingin ditawarkan oleh karena pembaca harus membuka kembali kamus untuk mencari makna kata tersebut sebelum ia memaknakan secara keseluruhan larik/puisi yang dibacanya. Karena itu kalau Doel masih mau bertahan dengan kecenderungan ini, pada halaman terakhir buku perlu dibuat daftar kata yang dianggap khas beserta makna umumnya sebagai langkah mengatasi kebingungasn pembaca, Hal ini tampaknya mulai disadari oleh beberapa penyair yang bereksperimen dengan bahasa daerah, Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem, misalnya. 

            Penutup dan Beberapa Saran            Demikianlah ulasan sepintas tentang kelebihan dan kekurangan “Nyanyian Miris” ditinjau dari berbagai konvensi yang lazim. Penulis menyadari benar bahwa banyak hal yang belum tersorot secara tuntas dan dangkal. Keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya merupakan kendala utama dalam hal ini. Sebagai simpulan barangkali kita bersepakat bahwa beberapa puisi dalam kumpulan ini (puisi dalam kelompok I) dalam bahasan di atas sudah cukup baik untuk diketengahkan. Sebaliknya, beberapa puisi (puisi Dalam kelompok II) tampaknya masih perlu dibaca ulang, diubah di sana-sini, dan kalau perlu dipending dulu untuk dipublikasikan.            Akhirnya, sebagai seorang pembaca awam, penulis menawarkan (itupun kalau boleh) agar sobat Doel bertahan saja dengan pola ungkap lirik naratif. Soal diksi mana yang digunakan: yang prismatis (tembus pandang) atau yang diafan (pelambang) tentu saja sangat bergantung pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Toh, kadang-kadang kita harus menggunakan filsafat hidup “bahkeu tameh sarang sareng, nyang peunteng puteng jilob lam bara”, nelongso, dan pasrah dengan berbagai kemirisan. Terimakasih.             

 

Cempaka 31, Mibo, Juli 1996Disampaikan pada Pengadilan Puisi Doel CP AlisahDi DKA Banda Aceh, 7 Juli 1996 

Tentang Sastra dan Konflik (2)

April 27, 2007

Potret  Kekerasan Negara terhadap Rakyatdalam Cerita Pendek Mutakhir di Aceh 

 

Pengantar            Teks sastra  merupakan pencerminan realitas sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang dialami oleh sebuah masyarakat yang pengarang sendiri berada di dalamnya. Begitulah antara lain asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan sosiologis, salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam pengkajian teks-teks kesastraan (Semi, 1993; dan Sikana, 1986). Malah, Sikana (1986:107) menyatakan bahwa pendekatan sosiologis (sosiologikal) ini melihat konfrontasi dan pertikaian yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber inspirasi penulis. Penulis bertugas mencerminkan atau menggambarkan tentang peristiwa yang terjadi (di dalam masyarakat tersebut). Dengan demikian, karya sastra dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium penggambaran kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.            Tulisan ini mencoba menggunakan dasar-dasar pemikiran pendekatan sosiologis yang diuraikan di atas untuk memaparkan bagaimana refleksi kekerasan negara (baca:  aparat negara) terhadap rakyat dengan berbagai eksesnya dalam cerita pendek (short story, cerpen) yang dipublikasikan melalui media
massa di Aceh.  Tema  ini menarik untuk dikaji karena hampir 90% karya sastra (prosa ataupun puisi) yang dipublikasikan di Aceh pada tahun-tahun terakhir ini bermuara pada persoalan tersebut. Di samping itu, tulisan ini diharapkan memberikan nuansa pemikiran alternatif pada peserta Dialog Utara VIII ini berkaitan dengan gejolak sosial yang terjadi di Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Data tulisan ini didasarkan pada cerita-cerita yang dipublikasikan oleh harian Serambi Indonesia,   sebuah
surat kabar yang diterbitkan di Aceh, dalam rentang waktu dua tahun terakhir (1998–1999).
 

Historical Background            Penerapan status “Daerah Operasi Militer” di Aceh (1989–1998) telah menimbulkan luka dan trauma yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Aceh. Usaha pemerintah RI untuk meredam gejolak sosial yang berkepanjangan di Aceh melalui operasi tersebut ternyata harus dibayar mahal sekali. Data yang dikumpulkan oleh Al-Chaidar dkk. (1998:257) menunjukkan bahwa kasus tindak kekerasan dan orang hilang selama operasi tersebut  berjumlah 1834 kasus. Tindak kekerasan ini cukup beragam, seperti penculikan, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai penembakan di depan anggota keluarga. Tempat penyiksaan dan ladang pembantaian, seperti Rumoh Geudong di Teupin Raya, Pidie, Bukit Tengkorak dan Bukit Seuntang, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa tersebut.               Akhir 1998 status “Daerah Operasi Militer” untuk Daerah Istimewa Aceh dicabut. Pencabutan status tersebut  ternyata menyisakan sejumlah persoalan lain dalam masyarakat Aceh. Cerpenis muda Aceh sebagai bagian dari  warga masyarakat yang ikut serta merasakan, mendengar, membaca, dan mungkin menyaksikan secara langsung berbagai hal selama dan pasca-DOM mencoba merekam, mengimajinasikan, dan mengungkapkan kembali bagaimana kesewenang-wenangan itu terjadi dan bagaimana pula efek hal tersebut bagi aparat pemerintah, informan, dan rakyat kecil yang buta politik.  

 

DOM dan Eksesnya dalam Cerpen Aceh Mutakhir             Kasus yang paling menonjol diangkat dalam cerpen mutakhir di Aceh adalah pembunuhan terhadap rakyat dengan tuduhan yang tidak jelas dan tanpa proses pengadilan resmi. Hal ini antara lain terungkap dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi Indonesia, 17 Januari 1999; Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998;  Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia,  6 Desember 1998, dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998.               Dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman diceritakan bagaimana Amran, seorang laki-laki paruh baya, mencoba kembali ke rumah orang tuanya untuk melepaskan kerinduan kepada ibu, isteri, dan dua anaknya yang masih kecil. Amran sudah tiga bulan meninggalkan desanya, bergabung dengan teman-temannya, para pejuang, di gunung. Dengan ragu-ragu ia mencoba mendekati rumah tempat ia dilahirkan. Ia khawatir kalau-kalau ada seseorang yang melihat kepulangannya dan melaporkan hal tersebut pada tentara. Ia tidak ingin rumah tempat ia dilahirkan mengalami nasib yang sama dengan rumahnya sendiri,  dibakar oleh aparat. Ia juga tidak mau orang tua yang melahirkannya pun akan mengalami nasib yang sama dengan isteri dan anak-anaknya yang sudah tidak jelas di mana rimbanya.             Setelah masuk ke rumah,  Amran memeluk ibunya yang sudah tua, melepaskan kerinduan yang sudah lama menggumpal, dan memohon maaf karena sudah lama tidak menjenguknya. Dari pembicaraan dengan ibu inilah Amran mengetahui bahwa Korim, temannya telah tewas tertembak saat terjadi bentrokan dengan aparat pemerintah. Ia juga diberi tahu bahwa isterinya, Siti, sudah ditangkap oleh tentera dan saat ini sangat menderita di dalam penjara, sementara anaknya tidak diketahui di mana rimbanya. Amran marah mendengar penjelasan ibunya. Kemarahan itu semakin bertambah ketika sang ibu menceritakan bagaimana pemimpin negeri mulai murka sehingga mengirim ribuan tentara untuk menumpas mereka dengan cara yang amat keji. Cerita tersebut semakin memperkuat tekad Amran untuk kembali bergabung dengan teman-temannya, berjuang, untuk sebuah perjuangan yang tak akan pernah sia-sia.            Saat malam telah larut Amran keluar dari rumah tersebut setelah mencium kedua tangan ibunya. Amran tidak menyadari bahwa tentara telah mengepung rumah ibunya itu setelah seseorang melaporkan kepulangan Amran itu kepada mereka. Tiba-tiba, di tengah terpaan angin malam yang semakin dingin, dan di depan mata ibunya sendiri, Amran jatuh bersimbah darah. Butiran peluru telah membuat Amran roboh dan menghadap Sang Khalik dengan sebuah keyakinan akan kebenaran jalan yang dipilihnya. Ibu Amran yang tidak menduga melihat kematian anaknya secara mengenaskan di depan matanya langsung pingsan tanpa mampu memberikan pertolongan pada anaknya.            Gambaran kekerasan negara terhadap rakyat yang tak berdosa dalam versi lain diungkapkan dalam cerpen  Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; dan Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998; Dalam cerpen Ruangan Maut diceritakan bagaimana si aku sekali waktu berkunjung ke sebuah rumah yang pernah digunakan sebagai tempat penyiksaan dengan dipandu oleh seorang penduduk desa. Di tempat itu ia melihat bagaimana ceceran-ceceran darah kering masih menempel di lantai dan dinding. Ia juga melihat bekas-bekas tapak sepatu lars di setiap sudut dinding. Ia melihat sisa darah kental di dasar kotak besi ukuran dua kali satu meter. Ia juga melihat sebuah sumur tua yang airnya telah kehhitam-hitaman. Dari pemandu ia mendengar bagaimana rumah, kamar, kotak besi, dan sumur tua itu telah digunakan oleh aparat negara untuk menyiksa rakyatnya sehingga si aku hanya bisa diam membungkam sambil menyimpan sebuah dendam yang tak jelas untuk siapa.            Selanjutnya, dalam cerpen Desah dari Bukit Pembantaian diceritakan bagaimana dialog yang terjadi antara malaikat dengan ruh penghuni Bukit Pembantaian. Cerita dimulai dengan penggambaran peristiwa yang dialami oleh tokoh aku (Nurdin) pada suatu malam. Ketika aku sedang bercengkerama dengan anak dan isterinya, pintu rumah mereka diketuk oleh seseorang. Ketika pintu dibuka, aku melihat seseorang berbaju loreng dengan wajah yang beringas. Sang tamu menghantam wajah tokoh aku, menjambak rambutnya, dan menyeret tubuhnya ke halaman rumah. Di halaman rumah itulah si aku diberitahukan bahwa ia bersalah karena telah melindungi, menerima, dan menjamu Usman, seseorang yang dikenal oleh si aku, pada suatu malam. Aku membela diri, tetapi pembelaan itu sia-sia saja. Penanya lalu menyuruh Sersan Parto, Sersan Gadang, dan Sersan Marga untuk mengurus si Aku. Ketiga sersan itu lalu menghajar si aku dengan berbagai kemudahan yang ada padanya hingga aku terkapar di tanah. Jeritan anak dan isteri si aku didiamkan oleh mereka dengan todongan senjata. Mereka lalu   membawa si aku pergi dan tak pernah lagi kembali ke rumah. Ketika sampai di alam barzakh, si aku bertanya pada malaikat siapa sebenarnya yang disebut pemberontak, pengkhianat Pancasila, dan pelanggar UUD 1945. Penjelasan dari malaikat membuat aku dan rekan-rekannya lega karena mereka ternyata hanyalah korban kezaliman penguasa dan serdadu-serdadunya.            Sisi lain kekerasan negara terhadap rakyat digambarkan dalam cerpen Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia,  6 Desember 1998 dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998. Dalam cerpen Nyaklam mencoba mengisahkan secara flashback bagaimana Nyaklam, seorang pemuda yang sebaya dengan tokoh aku, diadili oleh
massa, orang kampungnya sendiri, karena perilakunya yang tidak sesuai dengan perilaku anggota masyarakat lain secara umum. Nyaklam adalah teman sepermainan masa kecil si aku yang setelah tamat SMA terpaksa tinggal di desanya. Melalui surat-surat yang dikirimkan Nyaklam, aku mengetahui bahwa temannya, Nyaklam, telah bekerja sebagai informan, cuak, yang membantu tentara dalam proses penangkapan dan pembunuhan orang desa yang diduga pemberontak. Dengan penuh kebanggaan dan merasa diri pahlawan Nyaklam menceritakan perihal pekerjaannya itu pada si aku. Nyaklam bahkan mengajak si aku untuk bergabung dengannya bila si aku pulang ke kampung setelah kuliahnya selesai.          Ketika dominasi militer surut dan era reformasi terbuka, aku mendapat
surat dari M. Yakob, temannya, yang meminta aku untuk pulang ke kampung karena penduduk kampung akan mengadakan pesta dengan Nyaklam. Dalam pesta itulah aku melihat bagaimana penduduk desanya: laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan teman akrab Nyaklam sendiri secara beramai-ramai menghakimi Nyaklam hingga ia mati di depan mata si aku. Aku hanya bisa diam seribu basa melihat perlakuan tersebut.
            Selanjutnya, dalam cerpen Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan menceritakan bagaimana Paijo, salah seorang anggota pasukan Baret Merah, dikejar-kejar oleh bayangan dirinya sendiri, dicaci, dan disumpali dengan berbagai kesewenang-wenangan yang pernah dilakukannya terhadap rakyat Aceh. Ia menembaki bayang-bayangnya dengan senjata M-16 yang ada pada dirinya, tetapi bayang-bayang tersebut terus mengejarnya sampai ke markasnya. Di markas Paijo menembaki tiga perwira yang sedang bertugas sehingga salah seorang di antara mereka mati di tempat. Dalam pelarian tersebut akhirnya Paijo sampai ke rumah sakit jiwa dan di tempat itu ia meraung-raung minta tolong. Hardikan dari pasien lain menyebabkan Paijo diam, menunduk, dan akhirnya diam tak begerak. 

            Pemilihan tema, tokoh, latar, dan peristiwa cerita dalam cerita-cerita di atas secara sepintas lalu terlihat faktual dan membumi. Tokoh Amran, ibu, Siti, dan seseorang dalam cerita  Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman merupakan realitas keseharian di bumi Aceh dalam sepuluh tahun terakhir. Amran hanyalah satu sosok di antara sekian ribu sosok orang Aceh yang terlanjur dicap sebagai pemberontak, anggota GPK, oleh penguasa. Pemberian cap tersebut tidak hanya berefek pada yang bersangkutan, tetapi juga pada ibu, isteri, anak-anak, dan harta benda mereka. Karena itu, seseorang yang sudah dicap pemberontak akan lari menyelamatkan diri ke gunung atau ke daerah lain (termasuk negara tetangga) dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada mereka. Hal seperti ini juga disinggung oleh Naharuddin dalam Nyaklam. Bila yang bersangkutan tidak dapat ditemukan, ibu, isteri, dan anak-anak mereka diancam, ditangkapi, dipaksa mengakui, diperlakukan secara tidak manusiawi, dan kalau perlu dibunuh secara biadab. Sebaliknya, bila yang bersangkutan ditemukan (dan biasanya berdasarkan informasi dari informan atau cuak) yang bersangkutan langsung dihabisi dengan berbagai modus operandi, termasuk menembak mati di depan ibu kandungnya.Itu sebabnya kaum ibu yang anaknya menjadi tertuduh  tidak pernah merasa tenteram hidupnya. Mereka selalu dikejar bayang-bayang kematian yang tak jelas dari mana datangnya. Mereka juga harus siap menerima berbagai kemungkinan perlakuan lain dari aparat yang pada umumnya bukan orang Aceh [lihat, misalnya, tokoh Sersan Parto (Jawa), Sersan Gadang (Padang), dan Sersan Marga (Batak) dalam Desah dari Bukit Pembantaian, atau tokoh Paijo (Jawa) dalam Bayang-Bayang Mengejar].             Kesewenang-wenangan inilah yang melahirkan kebencian yang mendalam pada sebagian besar rakyat Aceh terhadap  pemerintah, para serdadu, dan orang-orang yang membantu terjadinya kesewenang-wenangan tersebut. Hal itu ditambah lagi dengan berbagai bukti fisik berupa ceceran darah, sumur, kuburan massal, dan sebagainya yang dapat dilihat hingga hari ini. Kebencian akibat kesewenangan dan kebiadaban itu dapat dilihat pada sikap ibu Amran dalam  Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman atau pada sikap tokoh aku dalam cerita Ruangan Maut. Malah, dalam Nyaklam, orang desa (laki-laki dan perempuan, tua muda) secara bersama “berpesta”, menghakimi tokoh Nyaklam, pemuda Aceh, yang terlalu sombong dan bangga diri karena merasa telah membantu pemerintah dengan cara menjadi informan atau kaki tangan penguasa. Bagi masyarakat Aceh, Nyaklam adalah potret anak durhaka, anak yang rela membiarkan penduduk desanya dibunuh dan dikejar oleh aparat tanpa sebab yang jelas. Karenanya, orang desa tidak lagi menganggap Nyaklam sebagai bagian dari mereka. Nyaklam layak dibunuh untuk menjadi pelajaran bagi warga lainnya. Pada saat seperti ini, hubungan darah, suku, persaudaraan, atau pertemanan (frienship) tidak  lagi menjadi pertimbangan untuk menyelamatkan seseorang dari kematian. Sebaliknya, orang-orang yang dianiaya dan mati secara tidak wajar selama diterapkan DOM di Aceh dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang tidak bersalah,  orang yang mati syahid (syuhada), dan karenanya  ditempatkan di Syurga Allah. Hal yang terakhir ini antara lain terungkap dalam cerita Bayang-Bayang Mengejar atau dialog antara ruh Nurdin dan kawan-kawan dengan malaikat dalam cerita Desah dari Bukit Pembantaian.        

Penutup            Kesewenang-wenangan pemerintah dan aparatnya selama diberlakukan status DOM dan pasca-DOM di Daerah Istimewa Aceh ternyata cukup dominan dikembangkan menjadi tema cerpen oleh cerpenis muda Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Di mata para cerpenis, kesewenang-wenangan tersebut mempunyai implikasi lain terhadap perubahan pola pandang dan perilaku orang Aceh terhadap pemerintah, para serdadu, dan orang-orang lain yang erat hubungannya dengan pemerintah. Kesewenang-wenangan ternyata menyebabkan timbulnya keresahan, kebencian, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Kesewenang-wenangan juga menyebabkan terjadinya perubahan pola pandang masyarakat Aceh dalam mengklasifikasikan mana kawan, mana lawan, mana pahlawan, dan mana pula bajingan. Hal ini barangkali merupakan salah satu faktor yang memicu tingginya eskalasi konflik dan gejolak sosial dalam masyarakat Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Kekecewaan dan penderitaan ternyata tidak mungkin dipendam terlalu lama.
Ada saatnya semua hal itu dinyatakan secara eksplisit sehingga penguasa tahu ada langkah mereka yang tak benar  pada masa yang lalu. Semoga kekecewaan dan penderitaan ini dapat kita rasakan bersama dalam kerangka persaudaraan bangsa Melayu, meskipun kita hidup di negeri yang berbeda. Semoga.
 

 

 

Rujukan: 

Al-Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika. 1998. Aceh Bersimbah Darah.
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
Sikana, Mana. 1986. Kritikan Sastera: Pendekatan dan Kaedah. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD. 

Cerita Pendek:Nyaklam, Naharuddin, Serambi
Indonesia,
 6 Desember 1998;
Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah,  Serambi
Indonesia,
13 Des. 1998;
Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi
Indonesia
3 Januari 1999;
Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi
Indonesia
, 17 Januari 1999.
 

 

 

 


Thailand, 1999

Tentang Sastra dan Konflik (1)

April 27, 2007

SASTRA DALAM LINTASAN SEJARAH KONFLIK  

“Bukan karena perjuangan kita menjadi seniman, karena senimanlah kita menjadi pejuang” (Albert Camus) 

                        Salah satu fungsi teks sastra  ialah merefleksikan atau mencerminkan realitas sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang dialami oleh sebuah masyarakat yang pengarang sendiri berada di dalamnya. Begitulah antara lain asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan sosiologis, salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam pengkajian teks-teks kesastraan (Semi, 1993; dan Sikana, 1986). Malah, Sikana (1986:107) menyatakan bahwa pendekatan sosiologis (sosiologikal) ini melihat konfrontasi dan konflik yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber inspirasi penulis. Penulis dalam hal ini bertugas mencerminkan atau menggambarkan peristiwa yang terjadi (di dalam masyarakat tersebut). Dengan demikian, karya sastra dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium penggambaran kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.            Dalam sejarah perkembangan kesastraan di dunia hal ini memang terlihat adanya kecenderungan ke arah tersebut. Di Indonesia, secara khusus, hal ini tampak sejak terjadinya pertentangan kepentingan politis antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan partai-partai lain di era 1960-an. Para sastrawan yang tergabung dalam Lekra, salah satu onderbauw PKI, mencoba memanfaatkan medium kesastraan untuk memasyarakatkan konsep-konsep ajaran komunis dalam masyarakat saat itu. Dengan perantaraan karya sastra juga mereka menyerang dan menyudutkan konsep-konsep religi lain yang berkembang dalam masyarakat. Sastra saat tersebut telah digunakan sebagai media provokasi dalam masyarakat.           
Para sastrawan yang tidak tergabung dalam Lekra mencoba bertahan dengan konsep sastra sebagai media penyampaian ekspresi yang tidak memihak. Tapi, kuatnya dominasi orang-orang PKI dalam berbagai lini pemerintahan Soekarno saat itu membuat mereka terjepit. Kelahiran Manifes Kebudayaan, 1963, merupakan bukti ketidaksetujuan sastrawan non-Lekra terhadap pemanfaatan medium kesasatraan sebagai sarana provokatif. Soekarno akhirnya mengambil sikap yang tegas melarang Manifes Kebudayaan tanggal 8 Mei 1964. Sastrawan penanda tangan manifes ditekan dan dibatasi kesempatan mempublikasikan karyanya dengan alasan “kontrarevolusioner”.  Saat PKI dilarang, 1965, situasi menjadi terbalik. Tokoh-tokoh Lekra yang cukup vokal saat Soekarno berkuasa ditahan, diasingkan, dan sebagian dibunuh melalui revolusi sosial. Apa yang terjadi pada Pramudya Ananta Toer merupakan contoh kasus untuk itu.
            Dalam masa transisi antara pemerintahan Orde Lama dengan Orde baru, karya sastra beralih fungsi menjadi media pembangkit semangat juang dan media kritik. Kebobrokan pemerintah Soekarno disorot kembali melalui berbagai sudut pandang personal sastrawan saat itu. Kelahiran puisi-puisi auditorium Taufik Ismail, Rendra, dan sastrawan Angkatan ’66 secara umum bermuara ke arah tersebut. Malah, dalam genre cerpen, para cerpenis mencoba memanfaatkan karya mereka sebagai alat untuk memotret situasi masyarakat yang gamang saat itu.                         Di era 1970–1980-an peran sastrawan sebagai kritikus atau penggugat kebijakan semakin terlihat. Ketidakajegan antara cita-cita dengan kenyataan dalam pemerintahan era Orde Baru kembali digugat oleh seniman (dan sastrawan secara khusus) melalui berbagai media ungkap. Karya prosa fiksi, drama, dan puisi sarat dengan kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah republik ini dalam mengurus negeri dengan rakyatnya sehingga melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan konflik internal dalam masyarakat. Di satu sisi kritik-kritik tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap perumusan kebijakan oleh elite penguasa. Akan tetapi, di sisi yang lain, kekhawatiran akan terjadinya “revolusi” lain dalam masyarakat karena pengaruh karya sastra sepertinya disadari betul oleh penguasa zaman Orba. Pelarangan pembacaan puisi dan pementasan drama Rendra dan kawan-kawan di era 1970–1980-an menjadi sinyal untuk itu. Sastra dan sastrawan, meskipun diibaratkan sebagai “lebah tanpa sengat” tetap menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai saat tersebut.            Akhir-akhir ini, saat konflik antaragama, konflik antarsuku, dan konflik vertikal antara pusat dengan daerah semakin kerap terjadi, peran sastrawan sebagai kritikus atau penggugat kebijakan semakin kuat. Sastrawan cenderung memihak pada korban dan bersikap konfrontatif terhadap pemerintah. Karya-karya kreatif yang dipublikasikan di
Indonesia akhir-akhir ini lebih banyak menyorot bagaimana konflik sebenarnya cukup banyak menelan korban. Konflik tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Sastra, tampaknya kembali ke fungsi asasinya, sarana untuk mengajar, sarana untuk berdakwah, dan sarana mempertajam kepekaan. Dengan demikian, sastra seharusnya menjadi medium terbaik untuk menjadi mediator dan pendamai dalam situasi konflik. Karena, sebagaimana disitir oleh Albert Camus puluhan tahun lalu, Bukan karena perjuangan kita menjadi seniman, karena senimanlah kita menjadi pejuang”. Mengapa tidak!
 

 

 

Rujukan: 

Mohamad, Gunawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan.
Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
 

Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
Jakarta: Mizan.
 

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
 

Sikana, Mana. 1986. Kritikan Sastera: Pendekatan dan Kaedah. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD.

Tentang Aku

April 27, 2007

Mukhlis A. Hamid lahir di Peukan Bada, Aceh Besar, 2 Desember  1962. Sejak 1988 bekerja sebagai dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh. Jenjang pendidikan formal yang diselesaikan penulis adalah SD Negeri Lampageue, Peukan Bada, Aceh Besar, 1974; SMP Negeri 3 Banda Aceh Filial Lhoknga, A. Besar, 1977;   SPG Negeri Banda Aceh, 1981;  S1, FKIP Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh, 1986;   S2 bidang Ilmu Sastra pada Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 1993. 

 

Penulis telah mengikuti beberapa training/pelatihan khusus di dalam dan di luar negeri, antara lain Pelatihan Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya, PPISB Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh, Juli 1994 – Maret 1995; Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi, Bogor, Jawa Barat, Juli 1996;  Training of Trainer in Human Right and Refugees Right for Police, facilitated by UNHCR, Bogor, 2001; Metode Pembelajaran untuk Orang Dewasa dan Univ Terbuka,  Padang, Sumatera Barat, Agustus 2001; TOT Metode Pembelajaran Kontekstual , Surabaya, September 2003; In Country Training for Mediator and Peace Keeper, facilitated by Norwegian Embassy,  Bogor, Jawa Barat, Oktober 2004;  Conflict Transformation and Human Rights Training, Lillehammer and Oslo, Norway, Juni 2005 

Di samping menjadi penulis opini dan hasil telaah kesastraan di koran dan jurnal lokal, penulis juga menjadi editor dan tim penyusun beberapa buku yang diterbitkan di Banda Aceh, antara lain  editor buku Takdir-Takdir Fanshuri, Buku Kumpulan Esai Sastra dan Budaya (DKB, 2002); editor buku Celoteh Budaya Politik Aceh, Buku kumpulan Esei  M.A.Glanggang (DKB, 2003);  tim penyusun buku Cerita Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam (Dinas Kebudayaan, 2004/2005).

Hello world!

April 27, 2007

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!